REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Sebulan sudah sejak para pejuang Hamas menerobos tembok-tembok pertahanan canggih Israel dan menggelar Operasi Badai Al-Aqsa. Operasi untuk menyerang pos-pos militer Israel dan menculik sejumlah perwira itu jadi serangan besar setelah tak berhasil ditangani pasukan militer Israel (IDF) selama tujuh jam pertama penyerangan.
Israel mengeklaim sedikitnya 1.400 warga Israel, warga dengan paspor luar negeri, serta pasukan Israel tewas dalam serangan itu. Sementara kesaksian sejumlah penyintas mengungkapkan bahwa tak sedikit di antara yang meninggal itu adalah korban yang terjebak di tengah baku tembak Israel dan pejuang Hamas.
Israel langsung membalas serangan dengan membombardir Gaza hari itu juga. Sebulan setelah balasan brutal Gaza, Kementerian Kesehatan Palestina mencatat sedikitnya 9.700 gugur di Gaza, 4.000 lebih adalah anak-anak. Sementara ratusan juga dibunuh Israel di Tepi Barat, membuat angka kematian di Palestina mendekati angka 10.000 jiwa.
Pihak Israel menggembar-gemborkan bahwa serangan Hamas pada 7 Oktober adalah serangan mendadak tanpa provokasi dari pihak mereka. Republika menelusuri data-data terkait tindakan dan kebijakan Israel sejak awal tahun dan mendapatkan gambaran yang sangat berbeda dari klaim itu. Sebelum Operasi Badai Al-Aqsa, kelangsungan keberadaan Palestina benar-benar terancam.