Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Prof. Dr. Ma’mun Murod, M.Si, menjadi pembicara dalam Pengkajian Ramadan 1445 H Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang digelar di Auditorium KH Ahmad Azhar Basyir MA, Gedung Cendekia Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Dalam pengkajian itu dibahas terkait Muhammadiyah dan dakwah kultural. Rektor UMJ Ma’mun Murod berpendapat bahwa Muhammadiyah memerlukan sekoci-sekoci kultural. (FOTO : Dok Republika)
Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Prof. Dr. Ma’mun Murod, M.Si (kedua kanan), bersama Ketua PP Muhammadiyah Syafiq A Mughni (kanan), dan Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ahmad Najib Burhani (kedua kiri) menjadi pembicara dalam Pengkajian Ramadan 1445 H Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang digelar di Auditorium KH Ahmad Azhar Basyir MA, Gedung Cendekia Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Dalam pengkajian itu dibahas terkait Muhammadiyah dan dakwah kultural. Rektor UMJ Ma’mun Murod berpendapat bahwa Muhammadiyah memerlukan sekoci-sekoci kultural. (FOTO : Dok Republika)
Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Prof. Dr. Ma’mun Murod, M.Si, menjadi pembicara dalam Pengkajian Ramadan 1445 H Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang digelar di Auditorium KH Ahmad Azhar Basyir MA, Gedung Cendekia Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Dalam pengkajian itu dibahas terkait Muhammadiyah dan dakwah kultural. Rektor UMJ Ma’mun Murod berpendapat bahwa Muhammadiyah memerlukan sekoci-sekoci kultural. (FOTO : Dok Republika)
Ketua PP Muhammadiyah Syafiq A Mughni, menjadi pembicara dalam Pengkajian Ramadan 1445 H Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang digelar di Auditorium KH Ahmad Azhar Basyir MA, Gedung Cendekia Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Dalam pengkajian itu dibahas terkait Muhammadiyah dan dakwah kultural. Rektor UMJ Ma’mun Murod berpendapat bahwa Muhammadiyah memerlukan sekoci-sekoci kultural. (FOTO : Dok Republika)
Ketua PP Muhammadiyah Syafiq A Mughni menjadi pembicara dalam Pengkajian Ramadan 1445 H Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang digelar di Auditorium KH Ahmad Azhar Basyir MA, Gedung Cendekia Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Dalam pengkajian itu dibahas terkait Muhammadiyah dan dakwah kultural. Rektor UMJ Ma’mun Murod berpendapat bahwa Muhammadiyah memerlukan sekoci-sekoci kultural. (FOTO : Dok Republika)
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ahmad Najib Burhani menjadi pembicara dalam Pengkajian Ramadan 1445 H Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang digelar di Auditorium KH Ahmad Azhar Basyir MA, Gedung Cendekia Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Dalam pengkajian itu dibahas terkait Muhammadiyah dan dakwah kultural. Rektor UMJ Ma’mun Murod berpendapat bahwa Muhammadiyah memerlukan sekoci-sekoci kultural. (FOTO : Dok Republika)
inline
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Prof Dr Ma’mun Murod, M.Si, bersama Ketua PP Muhammadiyah Syafiq A Mughni, dan Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ahmad Najib Burhani menjadi pembicara dalam Pengkajian Ramadan 1445 H Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang digelar di Auditorium KH Ahmad Azhar Basyir MA, Gedung Cendekia Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Dalam pengkajian itu dibahas terkait Muhammadiyah dan dakwah kultural.
Rektor UMJ Ma’mun Murod berpendapat bahwa Muhammadiyah memerlukan sekoci-sekoci kultural.
“Selain kerja struktural, perlu ada kerja kultural. Dalam konteks ini buat semacam sekoci-sekoci kultural di Muhammadiyah. Dulu, orang yang sama sekali bukan Muhammadiyah bisa merasa menjadi bagian dari Muhammadiyah. Maka strategi dakwah kultural perlu dilakukan secara masif,” ungkap Ma’mun.
Ia membagikan pengalamannya ketika mengagumi tim sepakbola asuhan Muhammadiyah yaitu PSHW yang kerap kali digandrungi oleh banyak penggemar kala itu. Ma’mun mengaku pada awal menyukai PSHW tidak mengetahui bahwa tim sepak bola itu adalah milik Muhammadiyah.
Sekoci-sekoci itu yang dimaksud Ma'mun perlu diperluas dan diperbanyak. Keberhasilan Muhammadiyah dalam perkembangannya hingga ke seluruh pelosok Indonesia dihasilkan dari watak kultural.
“Watak kultural sesungguhnya melekat pada Muhammadiyah sejak kelahirannya. Sebagaimana yang dikatakan Ketua Umum saat pengkajian di Yogyakarta bahwa perkembangan Muhammadiyah relatif merata hingga keluar Pulau Jawa. Ini tidak mungkin, perkembangan yang begitu cepat dilakukan dengan cara rigid dan kaku."
sumber : Republika