Rabu 03 Jun 2015 22:22 WIB

Simalakama Jagal Ular

.

Rep: Yogi Ardhi/ Red: Yogi Ardhi Cahyadi

Jagal Ular (FOTO : Republika/Yogi Ardhi)

Jagal Ular (FOTO : Republika/Yogi Ardhi)

Jagal Ular (FOTO : Republika/Yogi Ardhi)

Jagal Ular (FOTO : Republika/Yogi Ardhi)

Jagal Ular (FOTO : Republika/Yogi Ardhi)

Jagal Ular (FOTO : Republika/Yogi Ardhi)

Jagal Ular (FOTO : Republika/Yogi Ardhi)

inline

REPUBLIKA.CO.ID,

Bagi kebanyakan orang ular merupakan binatang melata yang menakutkan. Insting primitif kita akan segera menimbulkan reflek untuk menghindari berhadapan dengan hewan ini.  Kisah berbagai jenis ular, baik yang berbisa maupun tidak, menghiasi berbagai legenda dan kisah rakyat di berbagai peradaban di dunia.  Beberapa kebudayaan menganggapnya sebagai penjelmaan maha kuasa yang harus dipuja.

Di era modern, kini ular masih tetap menempati posisi khusus. Dari sudut pandang ekonomi capital, ular tidak semata mata rantai ekosistem pada lingkungan kita. Ular menjadi komoditas. Ular tidak lebih menjadi ‘produk’ komoditas demi menghasilkan uang.

Hal ini yang tercermin dari sebuah rumah jagal di Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Ratusan ekor ular dari berbagai jenis dan ukuran datang dan pergi setiap harinya. Ular-ular ini didatangkan dari berbagai wilayah di sekitar Cirebon.

Dijagal, dikuliti, diasapi, dan dikeringkan. Begitukah nasib berbagai jenis ular yang dibawa ke tempat ini. Beberapa hanya diambil anggota tubuhnya, seperti daging, kulit , atau beberapa organ dalamnya. Namun lain halnya dengan ular kobra misalnya. Hampir seluruh anggota tubuhnya menjadi komoditas yang bernilai uang.

Kegiatan yang berlangsung sejak tahun 80-an ini memasarkan produknya ke luar negeri. Melalui pengepul besar di Surabaya dan kota besar lainnya. Ular yang telah diasap dan dikeringkan dikirim ke negara seperti Cina, Jepang dan Hongkong sebagai bahan obat dan makanan. Sementara kulit ular yang berukuran besar bisa diekspor ke negara-negara di eropa sebagai bahan produk fashion.

Diakui atau tidak kegiatan ini akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem lingkungan kita. Setidaknya di wilayah tempat ular-ular tadi berasal. Populasi hama terus tumbuh tanpa kendali. Serangan hama-hama tikus di wilayah lumbung padi ini menjadi salah satu indikatornya.

Di sisi lain profesi ini telah menjadi sumber penghidupan mulai dari pemburu, pekerja jagal pengepul dan seterusnya. Perlu turun tangan pihak berwenang yang terkait untuk menyelesaikan situasi bak memakan buah simalakama ini. Namun tanpa mengorbankan hajat hidup manusia apatah lagi hak hidup sang ular.

 

sumber : Republika Foto
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement