REPUBLIKA.CO.ID, Pagi itu, belasan sepeda onthel terparkir di samping rumah yang terbuat dari anyaman bambu yang berada di Desa Trusmi Kulon, Sibunder, Cirebon. Di dalamnya, terdapat tangan-tangan terampil mengoreskan tinta lilin cair dari canting, membuat lukisan pada selembar kain mori. Pada tahapan akhir produksi, kain ini dikenal dengan nama Batik Trusmi.
Kisah membatik di Desa Trusmi berawal dari peranan Ki Gede Trusmi pada abad ke-14. Pada zamannya, batik ini digunakan untuk salah satu syarat mengembangkan agama Islam oleh pengikut Sunan Gunung Jati.
Kini, Batik Trusmi yang menjadi ikon batik dalam koleksi kain nasional termasuk dalam golongan batik pesisir. Namun karena Cirebon memiliki keraton, batik trusmi juga termasuk dalam kelompok batik keraton. Dari sejarah dua keraton yaitu Keratonan Kasepuhan dan Keraton Kanoman ini muncul beberapa desain Batik Cirebonan Klasik.
Desain klasik yang hingga sekarang masih dikerjakan oleh sebagian masyarakat desa Trusmi di antaranya seperti Mega Mendung, Paksinaga Liman, Patran Keris, Patran Kangkung, Singa Payung, Singa Barong, Banjar Balong, Ayam Alas, Sawat Penganten, Katewono, Gunung Giwur, Simbar Menjangan, Simbar Kendo, dan lain-lain.
Seiring perkembangan jaman dan meningkatnya permintaan batik trusmi, kini banyak para pengrajin batik trusmi lebih memilih memproduksi batik dengan menggunakan mesin agar pesanan para pelanggan tepenuhi.
Fenomena ini bisa menjadi pisau bermata dua. Tergantung sisi mana kita melihatnya. Baik melalui medium batik, tulis, cetak atau bahkan sablon, motif batik cirebon khususnya trusmi akan terus berkibar sebagai salah satu identitas bangsa.