REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA -- Payung Geulis mulai bergeliat kembali pada 1980 dan dikenal bukan lagi sebagai alat pelindung namun lebih sebagai barang kerajinan untuk hiasan rumah. Hanan mengatakan bahwa nama Payung Geulis sendiri mulai tenar di era 90an, kala itu Sahron, kakak Hanan, dipanggil Presiden Soeharto karena ketenaran payung lukisnya, dan Sahron menamakan payungnya dengan Payung Geulis.
Payung cantik itu memiliki berbagai ukuran dari 20 hingga 60 sentimeter dan kini dikenal sering digunakan sebagai pelengkap penampilan artis tradisional maupun sebagai unsur desain dalam dan luar ruang. Meski dikenal luas dan permintaan payung semakin meningkat, namun menurut Aah pendapatan perajin payung tidaklah besar. Hal ini membuat generasi muda di kampung itu termasuk anak Aah memilih pekerjaan lain dari pada meneruskan tradisi keluarga.
"Harapan kami ada penerus yang mau melanjutkan tradisi keluarga sebagai perajin Payung Geulis, bagaimanapun membuat Payung Geulis itu bukan hanya pekerjaan, tetapi tradisi yang harus dilestarikan," kata Aah. Harapan yang sama juga dilontarkan pengusaha payung tradisional, Bagus Judowono Tadiri (70) yang khawatir akan respon generasi kini untuk menjadi perajin payung.
"Saya ini bukan orang asli Tasikmalaya, tetapi saya jatuh cinta dengan Payung Geulis. Kinerja pemerintah sudah maksimal, bantuan juga diberikan, termasuk memberikan pelatihan juga. Tetapi sudah saatnya yang tua-tua ini istirahat, digantikan dengan yang muda," harap Bagus.