REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Hujan deras yang mengguyur Kota Depok pada hari itu tidak menyurutkan niat mereka untuk mempersiapkan hiburan layar tancap yang digelar secara cuma-cuma. Sejumlah peralatan seperti film seluloid, penggulung rol film, proyektor film, kaki tiga, pengeras suara, dan kain putih raksasa dengan berbagai aneka ukuran, dikeluarkan dari peti kemas. Film yang akan diputar meliputi berbagai aliran mulai dari Holywood, Bolywood, mandarin, hingga film lawas Indonesia.
Namun, dibalik kemeriahan ajang pementasan layar tancap terdapat duka yang harus terus dihadapi para pengusaha layar tancap setiap harinya. Satu anggota Komunitas Gabungan Film Keliling (GFK) Eris mengeluhkan kurangnya perhatian pemerintah setempat untuk melestarikan layar tancap yang menjadi salah satu sejarah di dunia hiburan di Indonesia.
“Awal tahun 2012 sejak komunitas ini didirikan ada 102 pengusaha film yang bergabung, namun memasuki tahun 2017 hanya tinggal tersisa sekitar 40 pengusaha, sisanya memilih gulung tikar dan menjual peralatannya kepada sesama pengusaha film layar tancap maupun kolektor.” Ujar Eris.
Memasuki malam hari usai adzan Isya l diiringi rintik gerimis para operator film sudah siap untuk memutarkan film. Layar yang semula berwarna putih mulai memunculkan warna ketika proyektor film 35 milimeter menyorotkan cahayanya. Sejumlah warga mulai berkumpul di pinggiran jalan.
Beberapa pengendara yang lewat bahkan rela menghentikan kendaraannya sejenak untuk sekedar menonton layar berukuran raksasa tersebut. Semua usaha dan antusias warga tersebut menjadi sebuah tanda bukti bahwa layar tancap masih ada dan akan selalu hadir untuk menghibur para masyarakat.