REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lantunan ayat suci Al- Quran terdengar dari balik pintu sebuah bangunan rumah kontrakan di Jalan Komplek DPR II, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Sebuah pengajian beranggotakan perempuan dan laki-laki separuh baya digelar di tempat tersebut. Namun, tidak seperti pengajian pada umumnya peserta belajar membaca Al-Quran ini terdiri dari kaum tuna netra.
Rumah Al-Quran Braille Al-Ihya (RABA) begitulah namanya dikenal oleh para penyandang tuna netra. Menjadi tempat mereka berkumpul dan belajar bersama membaca Al-Quran. Pengajian tersebut dipimpin oleh Furqon Hidayat salah satu pengajar yang juga penyandang tuna netra dengan 20 murid didik dalam satu kelompoknya.
Metode pembelajaran diawali dengan tahfidz Al-Quran sebanyak dua ayat. Lalu dilanjutkan dengan membaca Al-Quran braille, dan ditutup dengan sedikit tausiyah lalu sholat berjamaah. Semua program pembelajaran tersebut dapat diikuti oleh para penyandang tuna netra secara cuma-cuma. RABA juga memberikan fasilitas berupa makan siang dan santunan transport untuk mengapresiasi semangat para penyandang tuna netra dengan keterbatasannya untuk mempelajari Al-Quran.
Belajar membaca Al-Quran tanpa melihat bukanlah hal yang mudah apalagi para penyandang tuna netra. Mereka mengandalkan jari jemarinya untuk mengenal huruf-huruf arab yang di transliterasi menjadi kombinasi titik timbul sebagaimana huruf Braille. “Membaca Al-Quran dengan meraba jauh lebih sulit. Bisa mencapai dua tiga kali lipat kesulitannya (dibanding membaca biasa). Karena harus menyesuaikan kecepatan jari dan mulut untuk membacanya,” ujar Furqon.