REPUBLIKA.CO.ID, TEMANGGUNG -- Dulu tempat tersebut hanya digunakan warga sebagai pembuangan sampah kini disulap menjadi sebuah pasar yang memiliki perputaran uang sendiri. Pasar ini memiliki kurang lebih 70 lapak yang mayoritas dijalankan oleh warga Ngadiprono. Mereka berjualan olahan kuliner tradisional, hasil pertanian hingga kerajinan bambu produksi lokal.
Yang menjadi unik ketika wisatawan yang berbelanja tidak menggunakan uang rupiah. Pengunjung yang bertransaksi harus menggunakan uang dari keping bambu yang disediakan oleh panitia pasar dengan nilai tukar Rp 2.000,00 per keping ‘uang bambu’ yang diperoleh di tempat penukaran uang bambu setempat. Cara penggunaan ‘mata uang’ tersendiri ini banyak digunakan oleh objek wisata besar yang dikelola swasta di berbagai daerah di Tanah Air.
Harganya yang dijual pun bermacam – macam. Mulai dari makanan tradisional dengan harga satu hingga tiga keping bambu. Hingga mainan anak - anak dengan harga dua hingga empat keping bambu. Dalam satu hari wisatawan ada yang berbelanja hingga 50 keping bambu. Penjualpun dalam satu kali berdagang bisa mendapatkan omset kurang lebih 300 keping bambu atau kurang lebih Rp. 150.000,00.
Dari pasar bernuansa tradisional ini pedagang menyisihkan 15% pendapatanya untuk kas desa dan kas pasar. Uang yang diperoleh digunakan untuk pembangunan dan kegiatan desa, tidak perlu lagi mengadakan iuran pada warga desa. Semuanya dijalankan mandiri dengan pendapatan dari Pasar Papringan. Pasar ini menjadi potret ideal perpaduan konservasi alam dan kegiatan niaga yang berjalan seiring.