REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Di balik setiap goresan malam dan motif batik para disabilitas, tersimpan kisah-kisah perjuangan yang luar biasa. Mereka yang kerap dipandang sebelah mata karena keterbatasan fisik, justru menunjukkan bahwa semangat dan karya tak pernah bisa dibatasi.
Hal ini terlihat di Komunitas Difabelzone Bantul yang merupakan tempat berkumpulnya 50 orang pengrajin batik difabel. Ika Yuniarti salah satu pengrajin batik di Komunitas Difabelzone menuturkan, penyakit cerebral palsy yang diidapnya tak menyurutkan semangatnya untuk membatik.
Awal belajar menekuni batik, Ika kesulitan untuk memegang canting dengan tangan. “Saya dulu sering menangis saat gagal membuat batik, tapi saya tidak mau menyerah,” katanya kepada Republika saat ditemui di Workshop Difabelzone di Bantul, Yogyakarta, Kamis (2/9/2025).
Mentornya dalam membuat batik, Lidwina Wuri yang juga merupakan penggagas berdirinya Komunitas Difabelzone, kemudian menyarankan Ika untuk mengganti canting dengan kuas lukis. Sejak saat itu, lahir karya batik Ika yang khas dengan menggunakan kuas.
“Tapi sekarang saya juga sudah bisa membatik dengan menggunakan canting,” sambungnya.
Melalui keterampilan membatik, para disabilitas di Komunitas Difabelzone berjuang untuk hidup mandiri dan mendapatkan kesempatan lapangan pekerjaan.
Hasil karya mereka dipasarkan secara langsung maupun lewat online. Kerajinan batik disabilitas di Difabelzone tak hanya dipasarkan di dalam negeri namun juga menembus pasar internasional seperti Jepang, Jerman dan negara Eropa lainnya.
Produk yang dihasilkan beragam terdiri dari kain batik tulis, kemeja, totebag, dompet, pouch, sajadah hingga sarung bantal.