REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asap tipis mengepul dari wajan kecil berisi malam panas. Aroma khas itu bercampur dengan tawa riang ibu-ibu Rusun Rawa Bebek.
Di sebuah ruangan sederhana, mereka menunduk serius, menggenggam canting, dan menorehkan malam di atas kain putih. Dari jari-jari itulah lahir Batik Narabe singkatan dari Rusun Rawa Bebek sebuah ruang berkarya yang tumbuh dari kebersamaan dan ketekunan.
Boiyem, salah satu pengrajin, mengenang awal perjalanannya pada 2017. “Awalnya saya ikut pelatihan dirusun ini tanpa tahu apa-apa tentang batik. Lama-lama jadi suka,” tuturnya.
Kini, bersama enam ibu lainnya, ia rutin dan aktif membatik setiap hari setelah urusan rumah selesai. Dari tangan mereka lahir motif khas, seperti Bebek Menari, yang sarat cerita dari lingkungan sekitar.
Membatik bagi mereka bukan sekadar mengisi waktu, tetapi menjadi sumber penghasilan tambahan sekaligus wadah berdaya. “Daripada waktu habis sia-sia, lebih baik produktif di sini,” ucap Boiyem.
Proses panjang yang dijalani membuat mereka semakin menghargai batik, bukan hanya sebagai kain, melainkan doa, harapan, dan semangat hidup.
Di Hari Batik Nasional, harapan mereka sederhana: semakin banyak masyarakat mencintai batik, membeli produk batik, dan mendukung karya lokal.
Sebab bagi ibu-ibu di Rusun Rawa Bebek, batik bukan sekadar kain bermotif indah, melainkan kisah tentang ketekunan, kebersamaan, dan perjuangan untuk hidup lebih berdaya. Dari ruang sederhana, lahir karya yang menjaga budaya sekaligus memperjuangkan kehidupan.