REPUBLIKA.CO.ID, Pada 1999, masyarakat Kampung Sangko, Desa Sawarna, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak-Banten, baru menemukan keberadaan batu bara di wilayah mereka. Saat itu hanya ada segelintir orang yang mengetahuinya. Namun tiga tahun kemudian, warga mulai berlomba melubangi tanah mereka dengan peralatan seadanya.
Meski perkembangan teknologi sudah sangat pesat, masyarakat Kampung Sangko lebih memilih menambang batu bara dengan cara tradisional. Dengan bermodalkan kayu sebagai penopang dan balincong sebagai pemecah batu, para penambang memasuki lubang dengan kedalaman lima meter hingga 17 meter di dalam perut bumi. Rata-rata penambang-penambang tersebut menghasilkan 1,5 ton batu bara per hari. Mereka menjualnya kepada pengepul seharga Rp 330 per kilo. Batu bara yang jumlahnya ratusan kubik itu diangkut keluar daerah setiap seminggu sekali.
Salah seorang penambang, Agus (32 tahun) menuturkan, menambang batu bara memiliki risiko yang sangat besar dan cukup berbahaya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di bawah sana. “Namun hanya inilah pekerjaan yang paling menguntungkan bagi kami selain bertani,” tutur Agus.
Ia mengatakan, di awal tahun ini, ada sebuah perusahaan yang mengeskploitasi tanah Kampung Sangko untuk mengambil batu bara sebagai harta karun terpendam yang ada di dalamnya. Tak lebih dari enam bulan, perusahaan itu bangkrut dan menyisakan lubang galian yang cukup luas. Sebagian masyarakat memanfaatkan hal itu untuk mengambil batu bara yang tak sempat terkeruk.
Sumber daya ala ini tidak dikelola dengan baik oleh pemerintah setempat, sehingga terjadi kerusakan ekosistem alam besar-besaran. Tak jarang juga ada korban berjatuhan karena tertimbun longsor galian. Hal itu disebabkan karena para penambang tidak dibekali alat keselamatan yang lengkap dan memadai sesuai dengan standar yang memadai.