REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjadi penyintas (survivor) sebuah peristiwa traumatik hingga titik nadir antara hidup mati adalah pengalaman yang tidak akan terlupakan. Hal ini yang dialami oleh wanita-wanita Rohingya yang terdampar di sebuah kamp pengungsian di Bangladesh. Mereka meninggalkan kampung halaman dengan beragam kisah pilu yang menyertai perjalanan mereka menuju Bangladesh.
Rajuma Begum (28) misalnya, ibu dari Raihan (1 bulan) ini melarikan diri dari daerah Wabek Myanmar menuju negeri jiran Bangladesh. Rajuma yang saat itu tengah mengandung, harus melawan demam yang mendera. Bersama anaknya yang lain yang berusia 11 bulkan, Rajuma berjalan kaki selama 6 jam hingga tiba di perbatasan.
Aarafa Begum (20) melarikan diri bersama suami, mertua dan iparnya dari Khyeri Prang Myanmar. Kini anaknya tengah demam, namun Aarafa kesulitan mencari fasilitas kesehatan di kamp ini.
Lain halnya dengan Noor Kayes (18) yang melarikan diri dari kampung halaman bersama orang tuanya dari Desa Poachong Myanmar setelah suaminya dibunuh militer Myanmar.
Rasa syukur Amina (30) yang bersama berhasil meloloskan diri dari sergapan militer Myanmar yang menyerbu desanya. Paman dan adik laki-lakinya ditangkap tentara Myanmar tanpa diketahui nasibnya.