Senin 19 Aug 2019 19:57 WIB

Sawahlunto, dari Kota Mati Menjadi Warisan Budaya UNESCO (1)

.

Rep: Antara/ Red: Yogi Ardhi

Pengunjung duduk di depan kantor PT Bukit Asam yang merupakan gedung cagar budaya, di Sawahlunto. (FOTO : Iggoy El Fitra/Antara)

Pengunjung melintas di depan bangunan cagar budaya di kawasan gudang ransoem Sawahlunto. (FOTO : Iggoy El Fitra/Antara)

Pengunjung mengamati koleksi Museum Kereta Api di Sawahlunto. (FOTO : Iggoy El Fitra/Antara)

Patung diorama aktivitas penambangan batu bara yang berada di depan Lubang Mbah Suro, terowongan bekas penambangan batu bara di Sawahlunto. (FOTO : Iggoy El Fitra/Antara)

Lokomotif legendaris E1060 (FOTO : Iggoy El Fitra/Antara)

inline

REPUBLIKA.CO.ID, SAWAHLUNTO -- Sawahlunto, terletak 95 kilometer sebelah timur laut kota Padang, Sumatera Barat dikenal sebagai kota penghasil batu bara sejak ahli geologi asal Belanda, Willem Hendrik de Greve menemukan kandungan batu bara di aliran Sungai Batang Ombilin sekitar tahun 1867.

Eksploitasi dan produksi batu bara pertama pun dimulai pada tahun 1892 sehingga Sawahlunto pun menjelma menjadi kota tambang. 

Pemerintah Hindia Belanda mulai membangun jalur kereta api menuju kota Padang untuk memudahkan pengangkutan batu bara keluar dari kota Sawahlunto tahun 1889. 

Seiring berjalannya waktu, pada periode 1940 hingga 1980 produksi batu bara anjlok, kembali meningkat pada tahun 1990 dan kembali turun pada tahun 2000. Hal ini menyebabkan berpindahnya sebagian pekerja tambang ke kota lain dan Sawahlunto pun menjadi kota mati.

Sejak ditetapkannya visi baru untuk membangun daerah, yakni mewujudkan Kota Wisata Tambang yang Berbudaya, Sawahlunto pun berbenah. Sejumlah cagar budaya, kereta api, termasuk lubang tambang di kota arang itu direvitalisasi.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement